Kemampuan berpikir kreatif sesungguhnya adalah modal utama dalam bisnis. Adapun modal finansial hanya sekedar trigger saja, bukan modal yang utama. Dana berlimpah yang diserahkan kepada pebisnis yang tak kreatif hanya akan berakhir pada menghambur-hamburkan saja. Sedangkan kreatifitas bisa mengatasi masalah, andaikan modal finansial juga tidak mencukupi.

Seorang psikolog klasik, Karl Duncker adalah ilmuwan pertama yang mengkaji mengenai kreatifitas. Ia mengamati kenapa anak kecil jauh lebih kreatif dibandingkan orang dewasa. Anak kecil mudah sekali mengasosiasikan benda-benda di sekelilingnya dengan benda lain. Misalnya, kotak kapur adalah istana; pisang pura-puranya telepon; tangkai payung yang rusak digunakan seolah pedang. Menurut Duncker, orang dewasa mulai kesulitan menemukan makna lain dari benda-benda selain fungsi benda itu sendiri.

Padahal, menjadi kreatif berarti kita harus memiliki rentang fleksibilitas yang tinggi. Mampu melihat kemungkinan lain dan menggabung-gabungkan berbagai hal menjadi sesuatu yang baru. Duncker mengatakan bahwa pendidikan, lingkungan, dan budaya yang kita terima sangat menentukan apakah kita akan menjadi makhluk kreatif atau sebaliknya, menjadi yang terkungkung dengan menerima yang sudah menjadi konvensi bersama.

Untuk menjelaskan kesulitan mencari hubungan kreatif dari hal-hal yang seolah sudah kita terima, Duncker memperkenalkan istilah “functional fixedness”.  Istilah ini muncul setelah ia melakukan sebuah simulasi yang sangat terkenal hingga sekarang. Bahkan, Daniel Pink, seorang penulis terkenal,  ketika menyampaikan presentasi di TED 2009 membuka presentasinya dengan games ini.

Permainan kreativitas dengan lilin, korek api, dan paku payung.
Permainan kreativitas dengan lilin, korek api, dan paku payung.

Permainannya begini. Duncker meletakkan tiga benda di atas meja: lilin, korek api, dan sekotak paku payung. Ia mengundang beberapa sukarelawan. Dengan tiga benda tadi Duncker meminta mereka menempelkan lilin yang menyala di dinding dan lelehan lilin tidak jatuh ke lantai. Ia membagi menjadi dua kelompok relawan. Kelompok pertama hanya diberi tiga benda tadi (lilin, korek api, dan sekotak paku payung). Kelompok kedua tetap tiga benda, tetapi paku payungnya sudah dikeluarkan dari kotaknya.

Hasilnya menarik, kelompok dua selalu lebih cepat menyelesaikan masalah dibandingkan kelompok pertama. Sebab, kelompok pertama terjebak pada fungsi tak berkaitan dari masing-masing benda. Begitu paku payung disebarkan di atas meja, barulah kelihatan bahwa kotak paku payung itu bukan sekedar bungkus tetapi juga solusi untuk menempelkan lilin dan menghalang jatuhnya lelehan ke lantai.

Eksperimen ini sekaligus mengonfirmasi bahwa orang dewasa terjebak pada fungsi dasar benda-benda itu saja, makanya ia berikan istilah “functional fixedness”. Memang kreatif tidak melulu harus dihubungkan dengan menyelesaikan masalah seperti yang Duncker lakukan. Tetapi, Duncker menggarisbawahi melatih kreatif adalah dengan membuka kemungkinan-kemungkinan lain bahkan pada sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun.

Salah satu cara lain untuk melatih kreatifitas adalah dengan memaksa diri berpikir variatif atas satu tema. Pernah tau kan ada buku atau artikel 101 cara untuk bla..bla… Misalnya 101 cara memakan apel, 101 cara mengepel rumah, 101 cara tertawa, dan lain-lain.

Kira-kira berhasil ga ya? 101 cara cari jodoh mungkin? 😀 Kalau sudah ada yang coba, minta pendapatnya ya..

 

TINGGALKAN BALASAN