Belakangan ini setidaknya ada dua kasus yang menjadi berita nasional. Pertama, tentang tuduhan malpraktik dokter di Manado. Kedua, dugaan pemerkosaan yang dilakukan penyair terkemuka di Indonesia: Sitok Sarangenge.

Kedua berita ini menarik karena sama-sama membelah kita sebagai orang yang membaca atau menonton berita itu ke dalam dua kubu: setuju dan tidak setuju.

Komunitas dokter lantas menggelar demo karena vonis yang dijatuhkan hakim adalah sinyal yang akan mendatangkan banyak kasus kriminalisasi dokter. Toh, sang dokter sudah melakukan pada koridor yang tepat. Ia menjalani operasi sesuai prosedur. Masalah hidup dan matinya pasien itu bagian dari proses. Dokter tidak dapat dipidana karena dokter bukanlah penjamin nyawa.

Kelompok hakim dan masyarakat yang pernah punya pengalaman buruk dengan dokter mengambil sikap berbeda. Demo dan mogok sehari yang dilakukan dokter adalah solidaritas buta. Bagaimana dengan mereka yang pada hari mogok itu perlu dokter?

Begitu juga dengan kasus Sitok Sarangenge. Kelompok yang membela Sitok tak kurang jumlahnya. Ia adalah penyair yang terkenal. Reputasinya bagus. Yang parah justru ada yang malah menyalahkan sang korban. Kok sudah tujuh bulan hamil baru lapor? Muncullah kelompok yang membela Sitok. Secara terang-terangan atau sekedar support moral.

Kelompok lain, menjadikan ini kesempatan untuk mem-bully Sitok. Kebetulan ia bergabung dengan komunitas Salihara, sebuah komunitas budaya yang sejak awal sudah banyak penentangnya. Kejadian ini tentunya menjadi “berkah” bagi yang anti dengan Sitok. Apakah anti dengan genre sastra-nya yang dinilai terlalu keblineger atau keterikatan Sitok dalam komunitasnya.

Lalu bagaimana dengan kita yang bukan anggota pasien korban malpraktik, bukan teman sejawatnya dokter, bukan penyair geng-nya Sitok, bukan pula kelompok yang membenci Sitok. Kita berada di luar sistem perseteruan itu tetapi “menghirup” beritanya sehari-hari. Beda kalau kita berada di salah satu kubu, maka tak ada salahnya ikutan bersilat argumen.

Daripada ikutan menjadi hakim dalam keadaan pengetahuan kita yang terbatas atas duduk perkara kedua contoh tadi. Mending ambil hikmahnya saja bahwa:

  •    Bertindak ceroboh dalam profesi itu SALAH
  •    Mogok dan menelantarkan pasien itu SALAH
  •    Mempidanakan orang yang berbuat baik itu juga SALAH
  •    Melakukan tindak asusila, apalagi memperkosa itu SALAH
  •    Membully orang lain juga SALAH

Terlepas dari pembenaran masing-masing pihak yang berseteru, berita seperti itu masih layak  kita konsumsi. Tetapi hanya untuk diambil pelajarannya saja, tak perlulah sampai masuk ke pusaran masalahnya. Mengenai pembelaan masing-masing pihak? Santai saja, namanya juga membela. Tentu harus memenangkan pembelaannya.

TINGGALKAN BALASAN