Seorang teman pernah mengajak saya ke toko optik. “Mau beli kacamata”, katanya. Ketika itu di kompleks Salman-ITB baru saja ada pembukaan sebuah toko optik.  Sedang ada diskon opening untuk mahasiswa. Jadi, teman saya ini minta ditemani ke toko itu.

Tapi setahu saya, matanya normal-normal saja. Tak pernah terlihat mengernyitkan dahi ketika baca tulisan yang mungil atau jauh. Tidak ada gelagat mencurigakan sebagai orang yang harus dipasangi kacamata. “Mata kamu sakit?”, tanya saya. Maksud pertanyaannya bukan mata sang kawan ini yang sakit, tapi mau bertanya apakah dia memang perlu kacamata. “Minus berapa”, saya jejali pertanyaan lagi.

“oo.. ga sakit kok. Cuma pengen gaya aja.  Mumpung lagi diskon..”. Lalu dia menjelaskan, kalau kita pakai kacama mata akan terlihat lebih pintar daripada tidak pakai kacama. Kacamamata akan membuat kita terlihat lebih intelek.

“Ah masak sih..?”, baru pertama kali saya dengar teori absurd seperti ini.

Sambil makan siang di kantin Salman, dia berusaha meyakinkan saya bahwa pakai kacamata itu punya banyak keuntungan. Terutama image sebagai kaum intelektual, yaitu orang yang punya pendidikan tinggi dan punya pengetahuan segudang. Lalu dia membujuk supaya saya juga ikut mengambil keputusan beli kacamata. “Kalau kamu belum punya duit, pakai duit saya dulu. Bayarnya gampanglah.., nanti-nanti saja”

Saya masih sibuk merenung. Apakah teori kawan ini bisa dipercaya, atau dia hanya ingin memperdaya saya saja. Tapi tampaknya dia serius. Lagi pula, dia tidak dapat untung apa-apa dari toko optik yang baru buka itu kalau saya ikut beli kacamata juga.

Sehabis menyantap makan siang, saya putuskan untuk menemaninya saja. Kamipun pergi ke toko optik itu. Penjaga toko membantu pilih-pilih frame kacamata. Dia juga menjelaskan frame mana yang lagi ngetren dan dampak psikologis dari masing-masing frame itu.  Setelah mendengar pandangan penjaga toko, dia pilih frame rodenstock. Harganya lumayan mahal. Tapi katanya frame itu sedang laku.

Penjaga tokonya senyum-senyum saja saat sang teman ini pesan frame dengan lensa normal saja. Seolah sudah biasa menghadapi konsumen seperti itu dia berkata  “Selamat pakai..”, sambil menyerahkan bungkus kacamata dan kembaliannya.

Sejak saat itu, dia selalu pakai kacamata. Saya lihat dia semakin percaya diri. Mungkin gambaran bahwa pakai kacamata itu memberi citra intelek telah membuatnya lebih yakin berhadapan dengan siapapun.

kacamata

Saya tulis ini karena baru saja baca buku Fraser P. Seitel. Seorang pakar public relation, dosen dan penulis buku. Fraser seolah mengamini teori nyeleneh kawan tadi. Dalam bukunya, Fraser menulis :

Semua orang yang hidup di dunia ini memiliki gambaran steretotipe. Yaitu sebuah image yang melekat dan dipercayai kebenarannya. Kebanyakan dari kita adalah korban stereotipe.  Berdasarkan penelitian, kuliah yang disampaikan oleh dosen berkacamata lebih dapat diterima dibandingkan bila disampaikan oleh dosen yang tak berkacamata. Stereotipe yang melekat dalam benak masyarakat adalah : orang berkacamata selalu lebih dapat dipercaya.

Wow…, ternyata teori teman saya itu bukan isapan jempol. Ia sudah mendapat dukungan dari pakar komunikasi dan public relation. Pantas saja dia bela-belain beli kacamata.

Ada yang mendefenisikan stereotipe “sebuah pendapat atau prasangka yang melekat pada kelompok tertentu, biasanya diindikasikan melalui atribut tertentu juga”.

Ah… namanya juga stereotipe. Sesuatu yang dianggap benar, padahal hanya didasarkan pada suatu sangkaan saja. Untung saya tak jadi korban stereotipe kacamata sang teman itu.

sumber foto : http://www.flickr.com/photos/loupiote/94376729/

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaSilver Line
Tulisan berikutnyaJangan Menyerah

6 KOMENTAR

  1. Ada nggak buku-buku yang membahas tentang stereotipe dan teori-teorinya ??? kalo ada tolong sebutin donk , penting nihh ..

    • Waduh… saya ga bisa bantu requestnya yang ini. Om google dan bunda wikipedia pasti lebih sakti ditanyai.

Tinggalkan Balasan ke Kartika Batal balasan