SELAMA menjalankan usaha dalam waktu sepuluh tahun ini, saya sering menghadapi kinerja yang tidak sesuai harapan. Antara rencana dengan aksi, saling tidak sejalan. Antara janji dengan kenyataan, juga tidak seiring. Situasi underperformance ini bisa terjadi pada diri saya sendiri maupun anak buah di kantor. Bisa juga akumulasi kinerja tim.

Pekerjaan terlambat, kualitas yang amburadul, komitmen yang tidak ditepati, dan banyak kasus underperformance lainnya yang kerap membuat pengusaha pusing. Sebagai leader, kita dekat sekali dengan amarah jika berhadapan dengan situasi ini. Tapi sayangnya amarah itu tidak melulu efektif menyelesaikan masalah. Memang ada yang terpecut jika kena semprot dan tersadar dari keterlenaannya. Saya percaya, amarah itu punya berbagai dimensi. Selain punya fungsi untuk melecut, efek sampingan lainnya dari amarah justru merugikan. Misalnya, karyawan tidak menaruh respek melainkan hanya takut kena marah saja; sakit hati akibat terpapar amarah itu terbawa terus sehingga mengganggu kebahagiannya; bisa juga fungsi kepemimpinan kita melemah karena amarah dianggap menjadi perangai yang melekat dalam diri kita. Siapa sih yang orang yang rela kalau selalu kena marah?

Kembali ke underperformance tadi.

Saya mencermati, ketika ditanya sumber masalah underperformance seseorang, ada sebuah jawaban yang selalu muncul. Siapapun dia. Kalau menemukan pola lain, tulisan ini akan saya update lagi. Apakah sumber masalah masalah itu? Berdasarkan pengalaman selama ini, setiap individu (tim juga) yang underperformance selalu mengetengahkan alasan bahwa ada sesuatu yang menghambat dia berkinerja baik dan ia yakin jika hambatan itu dihilangkan ia akan kembali dalam track. Ini sekadar beberapa contoh alasan hambatan yang saya maksud:

  1. Si A beralasan tidak dapat memenuhi kinerja karena ada peralatan kerja yang tidak lengkap. Misal, printer harusnya diganti menjadi printer laser warna, jangan printer inkjet seperti sekarang. Spesifikasi komputer harusnya ditingkatkan, komputer yang sekarang sudah ketinggalan zaman.
  2. Untuk kasus yang lain si B punya argumen budged tidak mencukupi. Tidak mungkin ia mampu berkinerja maksimal jika budged yang tersedia terlalu ketat.
  3. Contoh lainnya, tim C mengeluh karena jumlah anggota tim terlalu sedikit untuk mengerjakan tugas “seberat” itu.

Masih banyak contoh lain, tetapi cukuplah tiga saja untuk menggambarkan hambatan yang saya maksud.

Menariknya, ketika seluruh hambatan alias keluhan itu kita selesaikan, mayoritas kasus underperformance yang saya maksud tadi tidak serta merta menyelesaikan masalah. Ketika kita evaluasi bersama lagi, akan muncul alasan hambatan lain lagi. Begitu seterusnya menjadi gelindingan hambatan yang bergulir tak terhenti.

Leader mana yang tidak frustrasi menghadapi kondisi seperti ini?

Dari berbagai percobaan menghadapi underperfomance ini, saya mengelompokkan menjadi tiga strategi menyelesaikannya.

  1. Identifikasi apakah sumber masalahnya ada pada individu.
  2. Uji berulang-ulang root cause analysis sebelum mengambil keputusan.
  3. Jangan kasih longgar.

Kita bahas satu persatu.

Identifikasi apakah sumber masalahnya ada pada individu.

Saya selalu menaruh kecurigaan pertama pada saat terjadi underperformance adalah karena individunya. Bisa karena kurang termotivasi, skill yang bersangkutan masih belum mumpuni, merasa minder, sulit berkomunikasi, atau sedang ada masalah rumah tangga yang mempengaruhi kinerjanya di kantor.

Cara mengenalinya sederhana saja. Kita cukup mengamati bahasa tubuh yang bersangkutan. Dengan berinteraksi sehari-hari kita tentu bisa membedakan semangat seseorang itu sedang membara atau melempem. Ditambah dengan ngobrol-ngobrol ringan, kita bisa membaca gelagat seseorang dan menyimpulkan bahwa akar masalah ada pada dirinya. Dalam melakukan ini tentu harus hati-hati. Jangan sampai terlalu mudah menjatuhkan penilaian kepada orang lain dan mengumumkannya. Kita memang harus membiasakan diri membaca orang lain tetapi digunakan untuk kebaikan.

Ciri lain jika sumber masalah ada pada individu, ia akan memberikan alasan yang sepele untuk dijadikan kambing hitam underperformance-nya tadi. Cari-cari alasan adalah strategi standar seseorang untuk tidak terlihat bersalah. Ia butuh pembenaran.

Uji berulang-ulang root cause analysis sebelum mengambil keputusan.

Ini merupakan lanjutan tahap sebelumnya. Alasan yang disampaikan harus kita kaji relevansinya. Kembali ke contoh yang sudah disebutkan di atas, alasan ditimpakan pada printer warna laser sehingga seluruh program kerja yang ia tangani progress-nya stagnan dalam jangka waktu lama. Meskipun sekedar contoh, ini peristiwa nyata. Saat itu saya percaya dengan alasan yang disampaikan bersangkutan. Saya dapat mengikuti logika berfikirnya bahwa pekerjaannya sangat membutuhkan printer yang handal. “Bagaimana mau maksimal kalau printer saja tidak berkualitas?” ungkapnya. Sialnya saya percaya begitu saja dan memenuhi persyaratannya, bahwa saya harus membeli printer baru. Nyatanya, setelah ada printer baru pun tidak ada perubahan sama sekali.

Dari situ saya belajar bahwa alasan apapun bisa saja muncul dari mereka yang sedang underperformance. Terkadang kelihatan punya hubungan erat tetapi kalau diuji berkali-kali dan di-challenge terus menerus, itu bukanlah sumber masalah yang sesungguhnya.

Apa bedanya masalah sesungguhnya dengan masalah palsu? Saya pribadi menganut prinsip begini. Jika hambatan yang disampaikan bisa dicarikan substitusinya, maka itu bukanlah masalah. Tetapi jika hambatan itu sifatnya mandatory (wajib diselesaikan), tanpa ada substitusi lainnya, maka ia kandidat sumber masalah. Tapi ingat, itu masih kandidat. Tugas kita justru menguji secara terus menerus bahwa itu memang benar-benar masalah yang sesungguhnya.

Jangan kasih longgar

Kalau sudah dalam kondisi underperformance dan sumber masalah sudah kita kenali, jangan kasih longgar. Jangan berikan kesempatan untuk melakukan underperfomance berikutnya. Kita harus menciptakan kondisi memaksa tetapi yang bersangkutan tidak merasa divonis. Agak-agak sulit mendeskripsikannya memang karena ini merupakan seni mempertemukan dua kutub yang berbeda, yaitu ketegasan dan kelembutan. Kita harus tegas bahwa underperformance harus disudahi tetapi tetap lembut kepada yang bersangkutan.

Memang, tetap ada kemungkinan yang bersangkutan tetap membandel. Pada kondisi demikian, tidak ada gunanya mempertahankan dalam tim karena akan meracuni iklim yang kita bangun. Minta ia resign baik-baik jika tidak bersedia mengubah perilakunya atau lakukan pemutusan hubungan kerja. Skenario ini memang tidak manis, tetapi harus dihadapi oleh seorang pengusaha.

Begitulah…, underperformance memang jadi kerikil-kerikil yang selalu kita hadapi dalam menjalankan usaha. Meskipun kecil, tetaplah hati-hati karena justru kerikil yang paling mudah membuat kita tersandung. Maka, selesaikanlah sebelum menimbulkan luka.

 

TINGGALKAN BALASAN