Akhir tahun lalu

Dua minggu sudah saya “dikarantina” di kota Bogor. “Demi terburunya deadline proyek”, katanya. Sungguh… benar-benar melelahkan dikejar segudang pekerjaan dalam waktu singkat. Pagi hingga malam monoton, hanya itu-itu saja yang dihadapi. Tidur pun tak nyenyak, dan memang juga mungkin karena tak nyaman.

Saya putuskan untuk istirahat dulu dua hari. Pulang ke Bandung. Tidur di kasur sendiri yang paling nikmat dari kasur hotel manapun di muka bumi ini. Selepas subuh, matahari belum memeluk bumi. Saya berangkat menumpang travel menuju Bandung. Lelah sekali, sebab semalaman saya tiada tertidur. Tujuan ke Bandung hanya satu, bisa tidur nyenyak dan dapat energi baru lagi.

Sepanjang jalan puncak, cianjur, padalarang hingga Bandung saya juga tak bisa tertidur. Kagum atas lukisan pagi dengan cahaya lembut mentari mengelus bumi. Tapi sampai di Bandung, lelah itu begitu terasa. Ingin rasanya segera terhempas di kasur dan terpejam dalam alam mimpi. Biarlah tubuh ini memperbaiki sendiri sel-sel yang sudah aus akibat dipaksa bekerja.

Pukul 8 pagi saya sudah tiba di Bandung. Langsung Saya beli beberapa makanan ringan sekedar pengganjal perut. Lalu melangkah gontai terhuyung-huyung bagai tentara kalah perang menuju rumah yang tak bisa dilalui oleh mobil. Hingga saya terpaksa jalan kaki, meski berat sekali rasanya.

Beberapa pintu menuju rumah tinggal, saya bertemu seorang lelaki. Dia itu tetangga saya. Wajahnya gusar, langkahnya terburu-buru tak menentu. Ia memegang karung yang ntah apa isinya. Kami berpapasan, dan dia berhenti sejenak. Membuat saya juga menghentikan langkah. Sebab bahasa tubuhnya mengajak saya bicara. Duh… malas sekali sebenarnya. Saya sudah rindu kasur.

“Kang, mau beli beras saya?”

“Wah, kok nawarin beras ke saya sih”, saya membatin. Kesal juga dihati.

“Istri saya mau melahirkan Kang…, dana saya tidak cukup”

“O…, berapa duit Kang semuanya?”, saya harus ambil short cut agar urusan dengannya bisa cepat selesai. Saya tak ada fikiran dia akan menipu atau tidak, karena saya tau istrinya memang hamil besar.

“Ini saya beli sekitar 40 ribuan, terserah Akang mau bayar berapa”

“Ok, saya beli. Ini seratus ribu”, saya keluarkan duit di dompet. Langsung serahkan ke dia. Saya juga terima beras itu. Sebenarnya ada juga terbesit rasa sayang, seratus ribu untuk sekarung kecil beras yang tidak akan saya manfaatkan. Tapi tak mengapalah, untuk membantu orang yang kesusahan. Lagi pula apalah artinya seratus ribu untuk biaya persalinan di jaman sekarang ini? Saya langsung ganti niat, dari jual beli menjadi sedekah.

“Terimakasih Kang”, katanya

“Eh… tunggu dulu Kang. Beras yang baru saya beli tadi saya kembalikan. Barangkali bisa dijual lagi”

Dia terima beras itu lagi. Syukurlah, urusannya cepat selesai. Tujuan utama saya adalah istirahat. Titik..

Baru saja saya masuk pintu kamar, hp berdering. “Oh… siapa lagi sih yang akan mengganggu rencana istirahat total saya ini?”. Rencananya, begitu sampai kamar hp akan saya matikan saja. Biar tenang istirahatnya.

“Halo… dengan Pak Irfan?”

“Betul Bu, saya sendiri”

“Apa kabar Pak?”

“Alhamdulillah sehat Bu”, sebenarnya pengen bilang ‘Bu… saya mau istirahat, nanti saya telpon balik’. Tapi khawatir ga sopan.

“Begini Pak, kami sedang ada project. Butuh sedikit bantuan Bapak. Ga banyak kok, cuma memberikan masukan saja. Tidak ada kegiatan teknis”

“Baik Bu, insya Allah saya usahakan. Mohon kirim detailnya via email saya ya Bu..”

“Ok, terimakasih ya Pak. O ya, kami siapkan setidaknya 3 juta untuk ini”

“He..he… terimasih Bu”

“Sama-sama. Assalamu ‘alaikum…..”

Klik disana, tanda diputus. Berarti wa ‘alaikum saya tak terdengar juga olehnya.

Saya langsung terhenyak. Baru saja beberapa menit lalu saya mengeluarkan duit 100 ribu dalam jual beli yang akhirnya saya sudahi dengan mengganti niat menjadi sedekah. Sekarang langsung diganti dengan faktor pengali berlipat-lipat. Syukur alhamdulillah, saya merasa ini adalah bukti yang saya rasakan dengan amat nyata mengenai manfaat sedekah.

Ya.., sedekah memang tak menaati kaidah aritmatika. Operator matematikanya tak stabil. Perkalian, penjumlahan, pembagian dan pengurangan tak sanggup membentuk rumus sedekah. Tanda sama dengannya juga susah diduga-duga kapan munculnya. Untuk kasus saya tadi, tanda sama dengan muncul dalam hitungan kurang dari 5 menit. Menggunakan faktor pengali 30 kali lipat.

Bukan digantinya duit saya itu yang menjadi poin penting pengalaman ini. Melainkan betapa bersyukurnya saya telah diberi kesempatan untuk semakin meneguhkan keyakinan dihati atas nilai kebaikan sedekah. Semoga gemar sedekah ini menjadi karakter yang tertanam dalam sanubari kita. Amin…

TINGGALKAN BALASAN