Itu kata yang kasar bukan???

Kosa kata “anjing” sudah melekat asosiasi kasar. Panas hati kita bila disebut anjing, apalagi sebutan itu mengarah pada diri kita. Saya sampai heran, di Bandung pemudanya gandrung sekali menyebutkan anjing. Sedikit-sedikit muncrat kata anjing. Seperti kalimah dzikir saja. “njing..njing…”, itu gampang sekali muncul dalam percakapan sehari-hari. Padahal Bandung terkenal dengan budaya ramahnya.

Terlebih dalam sudut pandang agama. Tak tanggung-tanggung, anjing eksplisit dinyatakan sebagai binatang haram. Terkena liurnya saja harus disamak. Anjing tak boleh masuk rumah. Tak boleh dimiliki seorang muslim kecuali dia sebagai penjaga kebun atau hal-hal lainnya yang jauh dari jangkauan kehidupan sehari-hari manusia.

Ditambah lagi tampang anjing yang menyeramkan. Giginya kokoh tak terbantahkan. Sekali gigit bisa merobek daging. Menyebarkan penyakit rabies yang bisa membuat kita tolol seumur hidup.

Lengkap sudah alasan mengapa kita harus menjauhi anjing. Melekatkan asosiasi buruk padanya. “Sumpah…, saya takut betul dengan anjing. Ayo kita pergi saja dari sini”, begitu kata teman saya saat kami bertamu ke rumah seorang kawan. Mukanya pucat, lebih putih dari biasanya, tiada dibuat-buat. Bibirnya membiru bagai dikecup hantu.

Di tempat lain, ada orang yang hidup mesra bersama anjing. Biaya pemeliharaannya pun bisa melebihi biaya operasional sebuah panti asuhan. Tidur sekamar dengan sang majikan, sekasur bahkan. Dibelikan baju, shampo, pita, dan tempat tidur istimewa. Yang lebih tak masuk akalnya, kadang-kadang sipecinta anjing ini sampai menempatkan perikeanjingan diatas segala-galanya.

Saya sendiri punya pengalaman dalam hubungan emosi manusia-anjing ini. Saya masih kecil dulu , jadi belum ngerti halal-haram. He..he…

dogDulu kami punya seekor anjing untuk menjaga kebun. Ia kami adopsi sejak masih bayi. Anjing kecil itu dibuang oleh yang punya karena mungkin sudah frustrasi karena anjingnya beranak melulu. Warnanya coklat keemasan, pipinya tembem, senyumnya merekah. Lucu sekali.

Sialnya kalau malam dia suka mengganggu. Berkaing-kaing tak karuan. Barangkali kedinginan dan naluri minta disusui sedang memuncak.
Akhirnya kami buatkan ia sebuah kandang kecil lengkap dengan selimut di dalamnya dan sebuah tempat minum. Susu yang dia minum sama saja dengan yang kami minum sehari-hari.

“Astra”, itulah nama yang kami sematkan padanya. Berhari-hari kami memanggilnya astra untuk memperkenalkan bahwa nama itu miliknya. Akhirnya Astra mengerti. Setiap mendengar kata itu ia langsung menggoyang-goyangkan ekor. Menganggukkan kepala.

Singkat cerita, Astra menjadi teman yang begitu setia dan menyenangkan bagi saya yang masih belum sekolah. Saban hari Astra menemani saya bermain apapun. Ia tumbuh menjadi anjing yang sopan dan juga pintar. Ia tak mau masuk kedalam rumah. Dan bila ia bandel masuk juga, kami tinggal bilang “keluar” dengan intonasi lembut, maka Astra pun keluar. Menunggu di depan pintu.

Saat saya sudah masuk SD. Setiap pulang sekolah, Astra lah yang menyambut dari kejauhan. 100 meter menjelang rumah dia sudah berlari kegirangan menyambut bagai seorang pemuda dalam film India yang akan bertemu kekasihnya. Terasa sekali sambutan hangat itu. Sambil menggoyang-goyangkan ekor pertanda senang, biasanya Astra memancing saya untuk ikutan berlari bersamanya.

Tanpa menolak dan mengeluh Astra selalu siap diajak kemanapun. Mandi ke telaga ia ikut, bermain ke hutan Astra turut, kelapangan bola juga dia manut. Hanya sayangnya, kalau sudah ketemu anjing betina, Astra akan berubah menjadi anjing yang menyebalkan. Apalagi kalau ketemu anjing jantan, bawaannya mau bertengkar melulu.

Ke sekolah saja Astra tak boleh ikut. Itupun karena dilarang guru.

Saya yakin, Astra juga paham emosi yang sedang saya rasakan. Saat sedih, dia juga turut sedih. Terduduk di bawah pohon sambil menatap dalam-dalam mata saya. Mungkin dia sedang bilang “saya turut prihatin pak bos..” Kalau sedang gembira, maka Astrapun turut gembira. Seolah ikut merayakan apa yang membuat saya senang.

Saya punya trik jitu menghadapi situasi saat kita sedang berhadapan dan digonggong anjing. Tatap saja matanya dalam-dalam dan katakan dalam hati “kawan… jangan rewel ya… aku ini temanmu!”. Teknik ini tak pernah gagal, suer…! Tapi saya ga yakin akan berhasil untuk anjing gila. Hanya berhasil untuk anjing waras saja. Saya yakin anjing itu bisa mengerti apa yang kita maksudkan.

Saya merasakan hal itu ketika berteman dengan Astra. Saya pernah mengajarinya bagaimana membuka pintu. Hanya dengan menyuruhnya “buka pintunya astra…!” sambil membayangkan kalau dia mengerti. Tak perlu waktu lama. Hanya beberapa kali percobaan saja sudah berhasil. Awalnya dia memang cengengesan saja. Tapi lama kelamaan ia mengerti juga apa yang kita maksudkan.

Apakah anjing itu adalah hewan yang bisa mengerti bahasa manusia? Wallahu ‘alam. Saya tak tau. Tapi menurut tim peneliti dari Universitas Lincoln yang dipimpin Dr Kun Guo menemukan bahwa binatang berkaki empat itu bisa membaca kesedihan, kegembiraan, kemarahan, ataupun kegelisahan di air muka manusia, bahkan bila ditutupi sekalipun.

-Mengenang sahabatku Astra yang tewas ditabrak truk 15 tahun yang lalu-

3 KOMENTAR

  1. “Seperti kalimah dzikir saja. “njing..njing…”, itu gampang sekali muncul dalam percakapan sehari-hari. Padahal Bandung terkenal dengan budaya ramahnya.”

    kenapa macam tu?

    katanya si urang bandung keturunan si tumang (sangkuriang) jadi lah erat lantunan njing…njing…itu dlm kosa kata gaul bandung

    hm… kata-katanya juga ya, kita ini keturunan mengky. Jadi suka clegukan “nghik..nghik…” gitu. Ah…, sepertinya saya tak sanggup menjangkau ilmu orang yang berkata-kata itu.

TINGGALKAN BALASAN